Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang harus mengalami yang namanya pindah. Entah itu hanya pindah rumah ke blok sebelah, pindah kota atau bahkan pindah negara. Sewaktu masih single, saya nggak pernah membayangkan akan tinggal jauh dari orangtua. Saya pikir, saya akan menikah dengan orang satu kota dan menetap di kota yang sama. Ternyata, Tuhan menentukan lain..Betull, saya menikah dengan tema sekota atau sekampung. Tetapi, doi nggak tinggal di kota kami, dan akhirnya saya yang harus turut serta ke kotanya.
Saya yang udah kerasan tinggal di kampung, harus beradapatsi dengan luar biasa, saat harus tinggal di keramaian Ibukota Jakarta. Hiruk-pikuk kota dengan beragam karakter penghuninya, sempat membuat saya stress. Namun, lambat-laun saya bisa menyesuaikan diri dengan suasana ibukota. Perbedaan bahasa dan gaya hidup pelan-pelan, bisa saya kuasai. Tanpa terasa, sudah sebelas tahun kami tinggal di ibukota.
Suatu pagi, saat sedang menikmati sarapan di teras belakang, suami mengutarakan maksudnya untuk pulang kampung. Entah mengapa, ia merasa cukup dengan petualangannya ke penjuru tanah air. Pekerjaannya sebagai seorang Tenaga Ahli Tata Kota, memberinya kesempatan untuk mengenal daerah-daerah pelosok Indonesia. Dari Kota Meulaboh di Aceh, Halmahera Selatan, Bacan, Tolikara di Papua dan kota-kota lainnya. Kearifan budaya lokal yang ditemuinya di kota-kota tersebut, membangkitkan rindunya pada kampung halaman.
Memang selama suami bertugas, saya dan anak-anak stay di Mampang, Jakarta Selatan (selama 2 tahun), kemudian kami pindah ke Bumi Serpong Damai (BSD) di Tangerang Selatan selama hampir sembilan tahun. Ketika pindah rumah dari Mampang ke BSD, adaptasi kami lebih ke masalah financial. Karena ternyata, pengeluaran di BSD jauh lebih besar daripada saat tinggal di Mampang. Sementara penghasilan suami masih nominal yang sama. Saya masih ingat, saat harus berhemat mati-matian untuk bisa bertahan di tahun-tahun awal kami di BSD.
Alhamdulilah, keadaan membaik dan kehidupan kamipun cenderung stabil. Hingga suami mengutarakan maksudnya untuk balik kampung. Saya yang sudah merasa nyaman di BSD, serta-merta menolak keinginan suami. Karier suami yang mapan, bisnis saya pun cukup bagus, sekolah anak-anak terjamin. Apa lagi yang kurang??
Saya nggak habis pikir, dengan keinginan suami. Bahkan sempat menentang keinginannya untuk pindah rumah. Banyak orang yang balik kampung, karena nggak bisa survive di Jakarta. Lhaa, kita udah survive, udah nyaman begini..Mengapa harus pindahh??
Namun, akhirnya saya sadar ada misi rahasia yang ingin dilakukan suami di kampung. Sebuah misi yang mungkin menurut kebanyakan orang, terlalu idealis. Tetapi, sebagai teman terdekatnya, saya percaya dengan ide dan rencana beliau. Maka, kamipun pindah lagi ke luar kota, luar provinsi.
Perpindahan kali ini, cukup menguras waktu, tenaga dan pikiran. Bahkan kesehatan saya sempat nge-drop tanpa diketahui orang lain. Fisik saya lelah, pikiran saya lebih lelah. Saya sempat merasa frustasi, dan tidak tau harus melakukan apa. Benturan sana-sini terjadi setiap hari. Saya merasa seperti perahu yang dihempaskan gelombang berkali-kali, hingga tak berbentuk lagi.
Hanya keyakinan pada Allah, senyuman anak-anak dan support dari suami yang membuat saya bisa bertahan. Pelan tapi pasti, saya udah bisa menulis lagi, menerima job penulisan dan aktif sebagai konsultan training di Indscript. Pelan tapi pasti, saya punya kesibukan baru dan penghasilan baru. Sekarang suami sedang ada kerjaan di Kep. Sula Maluku Utara. Semoga aja, doi nggak kepikiran mengajak kita pindah "lagi" ke sanaa.. Boleh sih kalo cuma liburan doank, tapi kalo untuk menetap, terus terang, saya belum siapp :D
Mampir ke blog bunda enni, salam kenal bun.... Sama sy juga baru pindah bun :)
BalasHapusSalam kenal, Mbak Lilies :)
HapusPindah itu memang sesuatu, ya..
Tetap semangatt..
Semoga pindahnya ke BSD lagi ya mbak....
BalasHapusAminn, Mbak Decy..
HapusTengkyu kunjungannya, ya ;)
Semoga pindahnya ke BSD lagi ya mbak....
BalasHapusWah mbak enni gk kebayang berapa kali mbak enni harus adaptasi sy yg baru adaptasi dengan tempat yg masih satu daerah adj ngrasa frustasi banget apalagi mbak yg pindah provinsi..., sukses terus mbak
BalasHapusHihi, ya Mbak..Kalo pindah kota, otomatis perabotan ditinggal. Ini yang membuat kita, para Emak suka nggak rela hikss..
HapusSukses juga buat Mbak Asti dan keluarga, ya ;)
Wah mbak enni gk kebayang berapa kali mbak enni harus adaptasi sy yg baru adaptasi dengan tempat yg masih satu daerah adj ngrasa frustasi banget apalagi mbak yg pindah provinsi..., sukses terus mbak
BalasHapushaihai mbak Enni...alhamdulillah sdh bisa adaptasi di tempat baru. Medsos yah yg membuat yg jauh terasa dekat. Malah dapat job pula...Semoga anak2 happy selalu, walaupun ikutan pindah... 😄
BalasHapushaihai mbak Enni...alhamdulillah sdh bisa adaptasi di tempat baru. Medsos yah yg membuat yg jauh terasa dekat. Malah dapat job pula...Semoga anak2 happy selalu, walaupun ikutan pindah... 😄
BalasHapusHaii, bu Hani..Alhamdulilah, teknologi sangat membantu, Bu..Aminn buat doanya, makasih :)
Hapusjika kita jujur pada diri sendiri..pilihan kembali ke kampung jawabannya.
BalasHapusAww, si Daddy komen juga :D
HapusPeace ya, dad..Luv u
Semoga barokah ya di manapun berada :)
BalasHapusAminn, makasih Mbak Nathalia :)
HapusSaya pindah rumah hanya sekali sampe seumur sekarang, yaitu saat setelah menikah pindah ke rumah sendiri sampe sekarang. Jd ga pernah boyong2 lagi Mba Enni...hehehe
BalasHapusHahaha...Enakk ya, Bu..Nggak capek bongkar-pasang perabot :D
Hapus